Dinamika Isu Perbatasan Di Laut Natuna

 


Laut Natuna sudah menjadi wilayah perairan yang banyak diklaim antar negara. Laut Natuna Utara berbatasan langsung dengan negara Brunei Darussalam, Kamboja, Taiwan, Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia. Claimant states dilakukan sejumlah negara dalam sengketa Laut Natuna Utara, negara tersebut yaitu Tiongkok, Filipina, Malaysiaa, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatannya. Tiongkok mengklaim Laut Natuna Utara berdasarkan sejarah Tiongkok di Laut Natuna sedangkan negara-negara lain berlandaskan kepada geografis yang mengacu kepada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) (Kompas, 2020).

Laut Natuna Utara menjadi kawasan primadona yang banyak dari negara-negara mengklaim perairan tersebut. Laut Natuna Utara dianggap sebagai kawasan strategis yang menjadi setengah lalu lintas perdagangan dunia. Selain itu, kawasan ini menghubungkan kedua Samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan dianggap strategis sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC). Dalam segi ekonomi, potensi Laut Natuna Utara memiliki potensi ikan laut Natuna dapat mencapai 504.212,85 ton per tahun berdasarkan identifikasi dari potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011. Potensi kandungan minyak dan gas yang berada di Laut Natuna, berdasarkan kepada catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Block East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf) serta cadangan sebesar 46 tcf. Potensi kandungan minyak juga mencapai 36 juta barel minyak dan baru dipakai sekitar 25 ribu barel minyak  (Tirto, 2020).

Potensi yang banyak dari Laut Natuna Utara ini yang menjadikan perairan ini banyak diklaim oleh negara-negara termasuk Tiongkok. Saling klaim ini pada akhirnya banyak negara yang berupaya mempertahankan kepentingan nasional. Mulai dari Tiongkok yang mengeluarkan nine dash line yang diprotes oleh banyak negara dan tindakan agresif Tiongkok seperti pembuatan pulau buatan dan masuknya militer Tiongkok di Laut Natuna Selatan. Filipina yang membawa kasus ini kepada Pengadilan Arbitrase Internasional karena terkena dampak dari nine dash line berhasil memenangkan Pengadilan Arbitrase Internasional dan menolak klaim nine dash line yang dilakukan oleh Tiongkok. Namun, Tiongkok menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang membuat tensi di kawasan semakin tinggi.

Konflik yang terjadi di Laut Natuna Utara ini pada akhirnya mulai menyeret Indonesia masuk setelah Tiongkong mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna yang merupakan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri tidak mengakui klaim nine dash line yang dilakukan oleh Tiongkok dan Indonesia meanggap Tiongkok melanggar Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia. Indonesia menggunakan UNCLOS sebagai landasan dalam klaim kepemelikan wilayah yang diakui secara hukum internasional dan negara-negara di dalamnya (Ihsan, 2016).

Protes yang dilakukan Indonesia tidak membuat Tiongkok mengundurkan diri dari perairan Natuna. Tiongkok tetap melakukan sejumlah aksinya dengan semakin intens memasuki perairan Indonesia. Sejumlah kapal-kapal nelayan Tiongkok memasuki kawasan ZEE Indonesia dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishin (IUU fishing). Kejadian ini terus belanjut hingga para tahun 2020 tidak hanya kapal-kapal nelayan yan memasuki wilayah ZEE Indonesia, namun coast guard Tiongkok juga melakukan pelanggaran dengan memasuk wilayah ZEE Indonesia. Berbagai insiden terjadi yang dimana Tiongkok meanggap bahwa nelayan-nelayan atau coast guard boleh memasuki kawasan yang diklaim sebagai nine dash line untuk berlayar dan berpatroli di kawasan tersebut. Indonesia tetap tidak mengakui klaim nine dash line Tiongkok dan tetap meanggap Tiongkok sudah melakukan pelanggaran batas wilayah Zone Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia.

 Isu Laut Natuna Selatan dengan kompleksitanya tidak hanya membuat resah negara yang berada dalam teritorialnya, isu ini juga mendatangkan negara Amerika Serikat yang turut tampil melaui kekuatan militernya dengan meningkatkan aktivitas militernya yang bernama Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk menentang ekspansi Tiongkok di Laut Natuna Utara.

PBB sendiri sebagai organisasi dunia dapat berperan sebagai mediator antar negara yang saling berklaim di Laut Natuna Utara. Namun, permasalahannya adalah UNCLOS yang diciptakan oleh PBB tidak memliki metode penegakkan hukum terkait dengan hasil dari pengadilan antara Filipina dan Tiongkok. UNCLOS tidak memiliki senjata yang dapat mengatasi konflik teritorial yang memiliki pertaruhan besar kekuatan negara. Dalam kasus ini PBB dianggap tidak mampu dalam menghadapi kasus yang melibatkan kepentingan negara khususnya negara yang merupakan Dewan Keamanan PBB. PBB yang seharusnya dapat memberikan solusi terhalang karena resolusi tentang permasalahan klaim teritorial dapat diterbitkan dengan persetujuan Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Tiongkok di dalam keanggotaan PBB merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang dapat memberikan hak veto dalam mengeluarkan persetujuan tentang masalah klaim teritorial. Dasarnya organisasi internasional dianggap sebagai entinitas tertinggi melebihi negara dibangun, namun PBB tidak mungkin bergerak dengan sendiri tanpa digerakkan oleh negara yang membangunnya (Moranta & Ras, 2022).

Hal tersebut menjadi bukti bahwa negara-negara berada dalam dunia yang di mana tidak ada otoritas tertinggi yang dapat menegakkan aturan. Hal ini membuat negara-negara hidup dalam dunia yang anarki. Dalam hubungan internasional, konflik teritorial di Laut Natuna Utara ini termasuk ke dalam teori realisme yang dimana negara-negara yang terlibat dalam klaim teritorial ini mengambil sikap bahwa dunia yang anarkis ini negara-negara lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Negara diibaratkan sebagai manusia yang memiliki sifat ingin menguasai karena negara sendiri dibentuk oleh manusia.

Dinamika yang terjadi di Laut Natuna Utara menciptakan security dilemma yang berujung kepada negara-negara berlomba-lomba meningkatkan kekuatan militernya (arms race). Masuknya beberapa kapal-kapal dan militer Tiongkok ke Laut Natuna Utara menimbulkan dilema keamanan bagi negara-negara disekitar kawasan termasuk Indonesia sendiri. Merespon hal tersebut Indonesia mengluncurkan kapal TNI dengan dalih untuk menjaga kedaulatan negara.

Tiongkok dalam isu Laut Natuna Utara terus berusaha meningkatkan keamanan dan ketahanan negara dengan meningkatkan anggaran dan belanja besar-besaran yang berujung kepada peningkatan anggaran dan belanja-belanja besaran negara lain di kawasan. Anggaran pertahanan Tiongkok sudah meningkat sejak tahun 2015 dari angka 197,680 Miliar Dolar AS menjadi 234,916 Miliar Dolar AS pada tahun 2018 dan pada tahun 2020 mencapai 270,016 Miliar Dolar AS. Indonesia juga mengalami peningkatan angka pembelajaan dari angka 7,68 Miliar Dolar AS pada tahun 2018 menjadi 9,38 Miliar Dolar AS sebelum kembali turun akibat Pandemi Covid-19 ke angka 7,68 Miliar Dolar AS. Data tersebut diambil berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Pada tahun 2020 walaupun sedang terjadi Pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang ekonomi di seluruh dunia namun belanja pertahanan berbagai negara dan secara keseluruhan kawasan masih tetap mengalami peningkatan yang signifikan (Moranta & Ras, 2022).

Security dilemma muncul karena ketakutan negara-negara dengan satu sama lain diakibatkan dari tidak adanya perlindungan kekuatan yang lebih tinggi dari negara-negara yang dapat melindungi negara dari ancaman negara lainnya. Security dilemma merupakan situasi di mana negara-negara meningkatkan keamanannnya dan memaksa negara lain untuk mengikutinya. Peningkatan anggaran dan belanja besar-besaran Tiongkok pada akhirnya memaksa negara-negara lain di kawasan ikut meningkatkan anggarannya. Militer Tiongkok yang juga mulai memasuki kawasan yang akhirnya negara-negara kawasan juga ikut merespon hal tersebut. Jika disimpulkan cara Tiongkok dalam mengurus keamanannya sendiri condong membuat negara lain merasakan ketidaknyamannya terlebih jika negara itu pernah berkonflik satu sama lain. Agresifitas Tiongkok dalam memasuki kawasan dapat dianggap negara lain sebagai perlawanan.

Rasa tidak bersalah Tiongkok dan pendirian tetap Tiongkok tentang klaim nine dash line terlihat bahwa Tiongkok benar-benar ambius dalam mengklaim sebagian laut Natuna. Potensi perairan Natuna yang berlimpah pastinya tidak akan membuat Tiongkok diam dan akan terus mencoba untuk mengklaim. Dalam perairan Natuna terdapat tiga potensi utama yang diyakini sangat menarik bagi negara-negara di kawasan. Sumber daya perikanan dan bawah laut yang terkonfirmasi dalam Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016, memiliki berbagai jenis ikan yaitu, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang penaeid, lobster, kepiting, rajingan, hingga cumi-cumi. Memiliki cadangan minyak dan gas terbesar di Asia Pasifik yang merujuk kepada salah satu ladang gas yang terletak 225 km sebelah utara Natuna. Cadangan minyak wilayah Natuna juga diperkirakan mencapai 14.386.470 barel sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Selain itu, perairan Natuna sebagai jalur perdagangan yang strategis selain karena menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, perairan Natuna diperkirakan menjadi rute sepertiga pelayaran dunia. Hal ini menjadi sebab mengapa Tiongkok sangat ingin mengklaim potensi yang ada hingga menghiraukan Konvensi UNCLOS. Tiongkok sendiri merupakan anggota tetap UNCLOS yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik ke negara lain.

Tiongkok dengan nine dash line melakukan klaim terhadap wilayah Natuna berdasarkan klaim historis yang menyebabkan dengan negara-negara sekitar mengalami ketegangan. Indonesia meskipun bukan negara yang secara langung melakukan claimant state di Laut Natuna Utara tetapi Indonesia mempunyai kepentingan di Laut Natuna Utara dalam menjaga kedaulatan negara. Kapal-kapal nelayan Tiongkok yang terus melakukan pelanggaran perbatasan dan coast guard Tiongkok yang membantu meloloskan diri para nelayan dapat mengacam kedaulatan negara. Dinamika sengketa di Laut Natuna Utara membuat kawasan tersebut dapat menjadi entry point dalam terjadinya sebuah konflik berkelanjutan. Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai fasilitator dalam dialog-dialog mengubah sikapnya yang menegaskan secara resmi bahwa Indonesia dan Tiongkok mempunyai masalah overlapping claim di Laut Natuna Utara. Tiongkok mengklaim ovelapping claim yang berkaitan dengan nine dash line merupakan zona penangkapan ikan Tiongkok. Dalam hal ini Tiongkok sudah melanggar ZEE Indonesia sebagai negara yang memiliki hak berdaulat dan Indonesia sebagai yang dilanggar harus mempertahankan kedaulatannya.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, respon dan pendekatan Indonesia terkait isu Laut Natuna Utara mulai bergeser kepada kebijakan yang fokus mengutamakan kepentingan nasionalnya di Natuna. Indonesia yang pada awalnya lebih lunak, sekarang menjadi lebih tegas dengan adanya peningkatan gelar kekuatan militer di Natuna seperti penyiagaan TNI dan alutsista untuk melakukan keamanan patroli di Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) di perairan Natuna secara lebih itensif untuk mempertahankan kepentingan dan kedaulatan Indonesia setelah Tiongkok yang semakin agresif dalam klaim terhadap Laut Natuna Utara (Sulistyani, Pertiwi & Sari, 2021).

Komentar